Smart Farming Tanpa Tanah: Saatnya Hentikan Ilusi Pelatihan

Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan redaksi UMBBIZHF NEWS

Negara ini tidak membutuhkan pendidikan yang dibawa oleh orang-orang yang tidak pernah menanam pohon. Negara ini membutuhkan ayam hidup, telur segar, dan orang-orang yang bisa makan dengan tangannya sendiri.

Kata cerdas kini telah menjadi mantra di semua proyek pembangunan. Ada smart farming, smart fishing, dan smart village. Namun di banyak tempat, hanya pelaporan keuangan yang benar-benar “cerdas”. Pelatihan berlangsung di kampus jauh dari kandang dan lapangan. Para pelatih yang beralih menjadi guru tidak pernah menanam tanaman, beternak, apalagi menjual produknya ke pasar. Peserta pulang dengan membawa sertifikat, bukan keterampilan. Sementara itu, populasi kecil di desa masih menghadapi tingginya harga pakan, kekurangan protein dan ketidakmampuan membeli sayur-sayuran. Ironisnya, biaya pelatihan bisa mencapai Rp1 juta hingga 3 juta per orang, lebih mahal dibandingkan modal usaha nyata yang bisa menghasilkan uang secara langsung. Jika jumlah dana tersebut disalurkan dalam bentuk “bantuan sosial produktif protein pintar”, maka biaya yang dikeluarkan akan kurang dari setengahnya:

Sebanyak 10 ekor ayam, benih sayuran dan media tanam seluas 20 meter persegi, dua tanaman kelapa berumur pendek yang berbuah empat tahun, serta video panduan perawatan. Totalnya Rp850.000 hingga Rp1 juta per keluarga. Dengan bantuan satu kali saja, keluarga dapat memproduksi protein harian, meningkatkan gizi dan memiliki pendapatan tetap. Hasilnya nyata, bukan sertifikat di laci. “Ciptakanlah program yang menghasilkan uang bagi penerima manfaat, bukan hanya sekedar kertas kosong.” Dalam model pertumbuhan lambat, penambahan modal tanpa peningkatan produktivitas hanya berarti peningkatan jumlah, bukan kemajuan. Namun ketika sedikit modal diarahkan pada kegiatan berulang yang meningkatkan efisiensi, produktivitas (A) meningkat, ICOR menurun dan pertumbuhan ekonomi menjadi kenyataan. Sedangkan menurut Romer, pertumbuhan modern muncul dari difusi ide dan pengetahuan. Jika satu desa belajar beternak ayam, maka desa lainnya pun akan mengikuti. Ide berkembang, hasil tersebar dan dampaknya sangat besar. Bukan dari seminar, tapi dari aksi. Kita telah lama menjadikan manusia sebagai objek pelatihan dan bukan objek produksi. Kenyataannya, negara ini tidak memerlukan lebih banyak laporan bisnis, namun lebih banyak telur, sayuran, dan hasil bumi yang dapat dikonsumsi dan dijual. Petani dan nelayan tidak butuh teori di ruangan ber-AC, mereka butuh partner yang mau bekerja di lumpur, mengajar dengan tangan, bukan dengan slide presentasi. Jika pemerintah ingin meninggalkan warisan hidup yang nyata, ubahlah arah programnya: dari pendidikan ke produksi, dari teori ke pendapatan. Sebab kesejahteraan bukan berasal dari sertifikat, melainkan dari ayam yang bertelur di sarang masyarakat. Dan sejarah hanya mengingat pemerintahan yang memberi masyarakat kemampuan untuk hidup, bukan pembentukan harapan. (miq/miq)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *