Pantas Banyak Keturunan China Jadi Pengusaha Sukses, Ini Rahasianya

JAKARTA, UMBBIZHF NEWS – Orang-orang asal Tiongkok yang berimigrasi ke luar negeri dan tinggal hingga anak-anaknya seringkali membesarkan keluarga yang sangat kaya karena hasil berbisnis.

Tak terkecuali di Indonesia. Jika mengacu pada 50 orang terkaya Indonesia versi Forbes, miliarder terkaya pertama hingga kelima di Indonesia ditempati oleh orang-orang keturunan Tionghoa yang menjadi konglomerat.

Lalu mengapa sebagian besar orang keturunan Tionghoa menjadi pengusaha sukses? Apa rahasia mereka?

John Kao, salah satu peneliti di Harvard Business Review, menemukan jawaban atas pertanyaan ini. Ia mewawancarai lebih dari 150 pengusaha asal Tiongkok dari dalam dan luar Tiongkok.

Alhasil, ia menyadari bahwa tradisi Konghucu mempunyai pengaruh yang kuat terhadap bisnis yang dijalankan oleh orang-orang keturunan Tionghoa di mana pun mereka berada.

Konfusianisme dianggap sebagai ideologi yang ada di zona budaya yang terdiri dari Tiongkok, Jepang, Korea, Taiwan, Hong Kong, Singapura, dan Vietnam.

Konfusianisme menekankan keselarasan antara satu orang dengan orang lain untuk hidup saling mencintai.

Menurut temuan penelitian Cao, 90% dari 150 pengusaha yang diwawancarai adalah imigran generasi pertama yang meninggalkan Tiongkok selama perang. Selain itu, 40% diantaranya mengalami dampak bencana politik seperti Revolusi Kebudayaan.

Sementara itu, 32% lainnya mengaku pernah kehilangan rumahnya di masa lalu. Terakhir, 28% pengusaha mengaku mengalami kehilangan kekayaan akibat keruntuhan ekonomi Tiongkok.

Di Tiongkok kuno, para petani melakukan yang terbaik untuk menghindari berbagai bahaya, seperti badai, kekeringan, dan serangga. Selain itu, bagi para imigran Tiongkok, bisnis merupakan kunci penting bagi kelangsungan hidup mereka, terutama di saat krisis dan perpecahan. Inilah salah satu dari sekian banyak pengusaha keturunan Tionghoa.

Mentalitas bertahan dari “badai” kehidupan, serta sejarah kelam Tiongkok, membentuk karakter warga etnis Tionghoa hingga saat ini. Oleh karena itu, tak heran jika pebisnis keturunan Tionghoa dinilai tangguh dan pekerja keras.

Sejarah gejolak politik dan sosial Tiongkok menghadirkan nilai dan prinsip bagi masyarakat keturunan Tionghoa, yaitu sebagai berikut.

1. Simpan untuk bertahan hidup.

2. Memaksimalkan penghematan.

3. Selalu bekerja keras untuk menghindari kemungkinan terburuk dan tidak terduga.

4. Satu-satunya orang yang dapat Anda percayai adalah keluarga Anda.

5. Selalu lebih memilih pendapat kerabat yang tidak kompeten dalam bisnis keluarga daripada penilaian orang asing yang kompeten.

6. Selalu mengikuti sistem yang menjadikan laki-laki sebagai pemimpin dalam bisnis untuk menjaga keharmonisan dan arah perusahaan.

7. Investasi harus didasarkan pada hubungan kekerabatan atau kekeluargaan, bukan pada prinsip-prinsip yang abstrak.

8. Lebih memilih kepemilikan emas batangan, seperti surat berharga tidak berwujud atau kekayaan intelektual, dibandingkan real estat, seperti bangunan, sumber daya alam, dan aset tidak berwujud.

Jika mengacu pada nilai-nilai inti tersebut, tidak mengherankan jika masyarakat keturunan Tionghoa, terutama generasi pertama, sebagian besar mendirikan usaha yang menghasilkan barang-barang berwujud, seperti real estate, perkapalan, dan perusahaan ekspor-impor. Industri seperti ini biasanya memerlukan tingkat kendali yang terbatas dan dapat dikelola secara efektif oleh sekelompok kecil orang dalam, yang anggotanya mungkin berasal dari anggota keluarga.

Beberapa pengusaha asal Tiongkok menjalankan perusahaannya seperti seorang kaisar Tiongkok yang menjalankan kerajaannya. Oleh karena itu tidak mengherankan jika aset usaha biasanya hanya diwarisi oleh anggota keluarga. Bahkan di Asia, para pemimpin bisnis profesional tidak pernah ragu untuk menerima anggota keluarga sebagai pemimpin perusahaannya.

Berdasarkan penelitian Cao, sebagian besar pengusaha asal Tiongkok menganut salah satu pepatah Tiongkok kuno: “Lebih baik menjadi kepala ayam daripada menjadi ekor sapi besar.” Saat ini, hal ini kurang lebih berarti mereka lebih memilih menjadi pemimpin bisnisnya sendiri, meski kecil, daripada menjadi bawahan di perusahaan besar.

 

  .

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *