Semangat Kartini dan Literasi Kesehatan Perempuan Indonesia Kini

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan dewan redaksi CNBCININININESIASSION.

Lebih dari satu abad setelah kematiannya, Kartarin masih dikenang sebagai mercusuar advokasi perempuan Indonesia. Namun setelah itu, di balik warisannya terdapat pernyataan bahwa ada kemarahan historis pada saat itu, yang berarti bahwa ia bahkan tidak meninggal karena masalah pertamanya selama empat hari.

Kesadaran Kartini akan risiko yang menimpa keluarga Harinia Indonesia saat ini menjadi penyebab permasalahan persalinan dan perawatan kesehatan bahkan sebelum kemerdekaan. Akumulasinya belum menyentuh akar yang paling fundamental, yakni tubuh perempuan itu sendiri. Kartini tidak boleh mencantumkan kata “literasi kesehatan” atau “gizi alami” dalam suratnya. Namun semangatnya saat ini adalah mendidik, memfokuskan dan memberdayakan serta membebaskan perempuan di pusat literasi kesehatan perempuan. Karena ketidaktahuan membunuh lebih banyak perempuan dibandingkan perempuan di abad ke-21. Penyakit ini membunuh sedikit demi sedikit, dengan anemia yang tidak perlu melalui anak-anak yang tidak diinginkan melalui anak-anak yang tumbuh karena ibu mereka tidak pernah memberi mereka pengetahuan dan pilihan. Kita melihat banyak situasi dan kondisi yang terjadi di berbagai pelosok negeri yang membuat perempuan dan ibu selalu dirugikan. Ada cerita dan laporan ibu-ibu yang kekurangan gizi, memiliki tekanan darah tinggi atau tekanan darah tinggi saat melahirkan, dan melahirkan bayi yang juga tidak dalam kondisi kesehatan yang baik.

Saran seperti penelitian epidemiologi dan studi epidemiologi telah diverifikasi dan menjadi kenyataan bagi jutaan keluarga di Indonesia. Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) mencatat 21,5% anak Indonesia menderita gizi buruk kronis yang mungkin menjadi penyebab buruknya status gizi.

Sementara itu, Risiko tahun 2018 menunjukkan bahwa 48,9% remaja perempuan dan 37,1% ibu hamil mengalami anemia teknis, yang meningkatkan risiko kematian karena kekurangan berat badan. Mudah-mudahan angka-angka ini tidak lengkap: perempuan-perempuan Indonesia ini telah menjanda hingga Indonesia merdeka tanpa ancaman kematian atau kelemahan yang diwariskan.

Persoalan hak-hak perempuan bukan hanya kemiskinan ekonomi saja, namun salah satu akar permasalahannya justru kemiskinan informasi. Banyak perempuan Indonesia yang tidak bisa membedakan kelas dan fakta mengenai gizi, kesehatan reproduksi, atau kehamilan. Di era informasi ini, literasi kesehatan masih menjadi hak istimewa kelas menengah perkotaan. Di pedesaan, literasi gizi dan kesehatan reproduksi masih bertumpu pada mitos dan pendidikan akademis dan ilmiah. Studi UNICEF Indonesia (2021) menunjukkan bahwa hanya 53% ibu yang memiliki pengetahuan cukup tentang pemberian makan bayi dan anak (IYCF). Sementara itu, Pusat Penelitian FKUI (2022) mengetahui bahwa sebagian besar program pendidikan keluarga masih bersifat jangka pendek dan melibatkan laki-laki dalam perubahan perilaku keluarga. Pertanyaannya, apakah literasi itu ada? Jika para ibu yang tidak berpendidikan dibiarkan begitu saja dan keluarga digantikan dengan dialog, lalu siapakah kita? Ini adalah tanggung jawab kita bersama, bukan hanya tanggung jawab pemerintah! Pengaruh kesehatan yang dilawan Kartini dengan sistem yang memposisikan perempuan sebagai objek. Oleh karena itu, perjuangan untuk melek kesehatan saat ini adalah upaya yang dilakukan oleh perempuan untuk perempuan, perempuan yang mengetahui tentang kekerasan, mengetahui cara merencanakan makanan untuk anak-anaknya, dan mampu mengambil keputusan. Generasi sekarang tidak hanya terjadi di bangku SMA atau di parlemen. Diketahui juga bahwa ketika ibu hamil membutuhkan suplemen darah, sebaiknya tablet darah tambahan diminum secara rutin. Hal ini terjadi ketika keluarga mengetahui bahwa menyusui bukan hanya tugas ibu, melainkan tanggung jawab bersama. Hal ini terjadi ketika anak perempuan diajarkan sejak kecil bahwa menstruasi bukanlah suatu kutukan, melainkan bagian dari proses biologis yang harus dipahami dan dihormati. Oleh karena itu, negara dan masyarakat punya pekerjaan rumah. Pendidikan kesehatan ibu dan keluarga sebaiknya dimasukkan dalam program edukasi, program Posyandu, belanja ibu dan media sosial. Kita tidak bisa lagi mengandalkan pengorbanan ibu tanpa memahami keputusan dan ruang yang diberikan pemahaman tersebut. Peringatannya, jika kita membayangkan jika kita memiliki karton, kita mungkin akan menulis surat kepada kepala desa, petugas kesehatan, dan bahkan kepala rumah tangga. Surat yang tidak bisa menguatkan tubuh wanita, yang bertentangan dengan ilmu kesehatan, kita tidak tahu, tapi ilmu yang memerdekakan kita. Carartin mengajarkan kita untuk melakukan perubahan besar dari keberanian kecil, antara lain menulis surat, bertanya, membaca, bermain. Jadi saat ini, ketika para ibu meminta kelas menengah di kelas remaja, mengikuti pelajaran di kelas reproduksi, atau ketika suami sendiri berhak menuntut ASI eksklusif. Literasi kesehatan bukan satu-satunya kampanye Kementerian Kesehatan. Merupakan perjuangan filosofis untuk mengembalikan harkat dan martabat perempuan sebagai pelindung kehidupan. Dalam semangat Ktava, literasi bukanlah sebuah pilihan, melainkan hak yang harus dijamin oleh negara. Tubuh perempuan adalah tempat tumbuhnya peradaban. Dari pasal ini lahir anak, lahirlah air susu pasien. Jika tubuh lemah karena kekafiran, maka masa depan bangsa juga akan lemah. Jadi saat ini, literasi kesehatan adalah medan pertempuran baru.

Dan perjuangan itu, sebagaimana diajarkan Kartini, dimulai dari semangat membaca, bertanya, bertanya, dan mengajar yang sederhana namun penuh makna. Inilah karartinal hari ini, bukan sekedar tanda, tapi kesadaran akan kesehatan yang hidup dan menuntut.

 

(Rah/Rov)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *