Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pendapat Dewan Redaksi UMBBIZHF NEWS
Pengantar seri Kematian Ekonomi: Di dunia yang terus bergerak cepat namun terasa semakin hampa, kami mengajak Anda untuk berhenti sejenak, melihat ke belakang, melihat ke dalam, dan melihat ke depan. Seri The Death of Economics bukan sekedar kumpulan review.
Ini merupakan upaya jujur untuk melihat perekonomian dari sudut pandang yang jarang tercakup: dari sisi yang tidak selalu efisien, tidak selalu logis, namun sepenuhnya manusiawi.
Di sini, kami ingin menyegarkan kembali ingatan mengapa ekonomi ada, tidak hanya sebagai alat perhitungan, namun sebagai cermin kegembiraan, prestasi, kesengsaraan, kesenjangan dan harapan zaman. Penulis memberi judul Bagian 8: “Keanggunan dan Rantai Nilai.” Saya harap ini bermanfaat, selamat menikmati. Mempertahankan keanggunan dan kemewahan sebagai sarana pertumbuhan dan martabat manusia. Kita sering diminta untuk hidup sederhana. Namun siapa sangka rumah besar dan pesta mewah bisa menyelamatkan perekonomian? Produktivitas kini menjadi obsesi baru, segala sesuatu yang dianggap tidak memberikan keuntungan langsung dicurigai, bahkan dikritik.
Rumah yang besar disebut berlebihan. Pesta mewah tidak disukai dan busana mewah dianggap sampah. Semuanya harus tepat, fungsional, dan lancar. Kita lupa bahwa sekarang, di balik spreadsheet yang dingin itu, kita melupakan satu hal: ada begitu banyak tangan yang bekerja, menaruh harapan pada sesuatu yang kita sebut kehidupan dan keanggunan.
Saat ini, kesederhanaan dirayakan sebagai nilai universal, namun menyembunyikan sebuah kesombongan: bahwa apa yang sederhana, murah dan efisien lebih etis. Kita lupa bahwa dunia tidak dibangun berdasarkan efisiensi saja. Begitu pula dengan upacara, keindahan, gaun pengantin yang dirancang dengan penuh kasih, cita rasa yang mengalir melalui kuali dan kuali, serta ruang makan megah yang mencakup tiga generasi.
Parade kenegaraan, kemeriahan pernikahan, dan tarian keluarga di malam syukuran adalah apa yang dikenang dan dicatat dalam sejarah keluarga dan bangsa, bukan berapa banyak kenari atau kain yang dihabiskan.
Perekonomian modern telah lama didasarkan pada logika kering: nilai = fungsi/biaya. Maka segala sesuatu yang tidak mempunyai fungsi langsung akan dihapus. Tapi di manakah posisi desainer pakaian? Untuk toko bunga? Untuk koki pribadi, pembantu rumah tangga, pelayan pesta, penata rambut, penata rias, fotografer keluarga, dan desainer interior? Mereka hidup dalam orbit keanggunan. Mereka hidup dari peristiwa tersebut. Di balik gaun pengantin yang mempesona, ada lima tangan yang bekerja dengan penuh cinta. Dari kritik terhadap Galbraith hingga pembelaan keanggunan. Kenneth Galbraith dalam The Affluent Society (1958) mengkritik masyarakat makmur yang terjebak dalam konsumsi murni: barang-barang pribadi berlimpah sementara fasilitas umum terabaikan. Ia menyebutnya sebagai paradoks kekayaan, masyarakat kaya namun miskin maknanya.
Galbraith benar tentang satu hal: kita harus waspada terhadap kemewahan yang berlebihan. Namun kita juga harus sangat berhati-hati dalam membedakan dua hal: efek vakum ketika konsumsi menjadi sebuah pelarian. Lalu ada keanggunan yang mengakar, ketika gaya hidup menciptakan pekerjaan, hubungan, nilai finansial dan sosial.
Demikian pula, tetapi dari sudut pandang sejarah, Kaisar Jerman Wilhelm II, di pengasingan setelah Perang Dunia I, sering menyesali hilangnya Jerman sebagai negara seni dan budaya. Ia melihat negaranya menjadi negara komersial, kehilangan aristokrasinya, kehilangan keanggunannya.
Menurut kesaksian para penulis biografinya, transformasi ini dipandang oleh William II sebagai sebuah kemunduran: dari sebuah negara yang dulunya besar dan berbudaya tinggi menjadi masyarakat yang mementingkan perhitungan keuntungan dan kehilangan selera.
Jerman adalah negara yang dingin pada saat itu. Keanggunan sudah mati dan aristokrasi hilang. Dulu kita punya gaya, sekarang kita hanya punya perhitungan. Ungkapan tersebut tidak hanya sekedar nostalgia terhadap Kaisar yang kalah, tetapi juga sebagai pengingat bahwa peradaban membutuhkan ruang untuk keindahan. Bahwa seni, upacara dan keanggunan adalah bagian dari infrastruktur internal suatu bangsa. Dan ketika hal ini hilang, tidak hanya pekerjaan yang hilang, namun juga martabat kolektif.
Keanggunan adalah infrastruktur rantai nilai. Rumah mewah bukan sekedar tempat tinggal. Ini adalah ekosistem yang berhasil. Ada supir, pembantu rumah tangga, tukang kebun, tukang listrik, katering, dan guru privat. Setiap dinding, setiap ruang, adalah peluang kerja.
Pernikahan yang kaya bukan sekadar simbol status. Ini adalah penyelamat bagi perancang busana, toko bunga, MC, musisi, penata pencahayaan, fotografer, penjaga keamanan, dan bahkan operator panggung. Seorang wanita yang mengadakan pertemuan besar juga telah menciptakan permintaan akan layanan katering dan tata rias lokal. Setiap orang berpartisipasi dalam rantai nilai, bukan dalam dosa konsumsi, namun dalam penciptaan nilai ekonomi manusia. Dua dunia: elegan dan fungsional Bayangkan dua pernikahan. Yang pertama berlangsung di sebuah bangunan minimalis. Semuanya efisien. Makanan dipesan secara online, tanpa interaksi. Tidak ada MC, tidak ada musik. Kedua mempelai mengenakan pakaian siap pakai yang dibeli melalui e-commerce. Foto diambil pengunjung dengan ponsel masing-masing. Tanpa dekorasi, tanpa adegan. Tidak ada undangan cetak juga. Ringkasan ekonomi Operasi
Yang kedua di halaman belakang rumah keluarga besar itu. Tetangga dan penyedia layanan datang di pagi hari. Dekorator, desainer pencahayaan, toko bunga, MC, fotografer, tim dokumentasi video. Pengantin wanita mengenakan gaun yang dirancang khusus dan dijahit selama berminggu-minggu.
Makanan tersebut dikelola oleh sebuah rumah katering yang mempekerjakan 20 orang perempuan setempat. Tersedia pula tempat parkir, satpam, persewaan kursi, penyedia panggung, sound engineer dan penyanyi keroncong pada malam hari. Mahal; Ya, tapi bukan sekedar untuk menunjukkan, tapi untuk membantu banyak pihak.
Di pesta elegan itu, karya lahir bukan karena kebutuhan, melainkan karena kecintaan terhadap detail. Dan lapangan kerja yang diciptakan tidak hanya bersifat fungsional, namun juga penting. Hal ini membuktikan bahwa keanggunan membawa berkah bagi banyak orang. Keanggunan ini memungkinkan kami meningkatkan margin tanpa melakukan ekspansi yang melelahkan. Upacara Sebagai Sumber Pembangunan Ekonomi Kita harus mempertahankan upacara keagamaan, upacara kenegaraan, peragaan busana, perjalanan dinas, dan acara keluarga sebagai bagian dari pembangunan. Mereka bukanlah sampah, melainkan pusat gravitasi pekerjaan manusia.
Upacara kenegaraan memerlukan aturan berpakaian nasional, paduan suara anak-anak, parade seni, rencana keamanan dan protokol. Pesta keluarga menciptakan permintaan akan layanan katering, tata rias pengantin, dekorasi, musik, MC, dan bahkan layanan mobil. Festival keagamaan menghidupkan kembali pembuat kue, penjual pakaian, seniman kaligrafi, penyewa karpet, guru mengaji, dan operator tur haji.
Dalam upacara ada saatnya hening, ada tempat hormat, ada ketertiban, bukan karena kita kaku, karena kekacauan tidak bisa menjadi peradaban. Ketika pemimpin mengenakan batik terbaiknya, ketika asisten memimpin seorang lelaki tua dari panggung, ketika podium dibersihkan sebelum digunakan, halus. Semua ini adalah keanggunan yang mencakup semangat pelayanan. Dan di situlah kebangsaan menemukan bentuknya.
Jika kita menginginkan pertumbuhan ekonomi yang besar, pertumbuhan tersebut tidak bisa berasal dari ekspor, pabrik, atau digitalisasi saja. Harus dikembangkan dari perayaan, dari estetika, dari dunia kerja yang membutuhkan kehadiran manusia seutuhnya, bukan sekedar klik dan logistik.
Dunia yang elegan ini menciptakan banyak lapangan kerja. Sektor barang mewah pada dasarnya bersifat padat karya. Itu tidak bisa diotomatisasi. AI tidak bisa tergantikan karena AI itu bagus dan membosankan. Itu juga tidak bisa diimpor dari China. Pakaian adat harus dijahit dengan cinta. Ritual keluarga harus dipersiapkan oleh tangan manusia. Musik pengiringnya tidak bisa digubah sepenuhnya, dan makanan harus dibuat oleh tangan hangat ibu, bukan oleh robot canggih.
Bandingkan dengan perekonomian fungsional: apartemen kecil yang bahkan tidak membutuhkan anggota rumah tangga, makanan beku yang perlu dihangatkan kembali, kehidupan yang berjalan sendiri tanpa banyak interaksi. Dunia kerja mungkin tampak rumit, namun merupakan pekerjaan yang langka. Daya serap kerja yang tinggi hanya akan datang dari dunia yang menjunjung tinggi keanggunan. Karena hanya di dunia yang mencintai detail, makna dan perayaan, karya manusia tetap dibutuhkan dalam wujud utuhnya.
Di antara perekonomian yang semakin melemah dan pola pikir masyarakat yang semakin sempit, muncullah tren yang menyedihkan: masyarakat yang hidup anggun, anggun, atau estetis dicurigai, dihina, bahkan diserang.
Terlepas dari sumbernya, bukankah kita ingin tahu berapa banyak lapangan kerja yang diciptakan? Berapa banyak rumah yang mereka suplai? Berapa banyak jiwa yang mereka beri makan, secara langsung atau tidak langsung melalui keputusan gaya hidup mereka?
Kita tidak boleh menganiaya mereka yang hidup mewah. Karena kadang-kadang, di balik pakaian mewah, pesta-pesta besar, dan rumah-rumah besar, ada kehidupan yang lebih bersemangat, yang menghargai orang lain dan lebih mengakar dibandingkan dunia efisiensi yang sunyi dan sinis.
Kita terlalu cepat mencurigai kemewahan dan terlalu lambat untuk menemukan tempat kerja yang paling manusiawi di dalamnya. Keanggunan sejati tidaklah berlebihan. Ini adalah kecintaan terhadap keindahan, tradisi dan interaksi sosial. Itu bukan dosa. Bisa jadi berkah yang menyerap banyak tangan. Ironi dari pertumbuhan: Ketika perekonomian bergantung pada kalender ibadah dan hari raya Kita telah lama diajarkan bahwa perekonomian akan tumbuh jika kita lebih efisien, lebih rasional, dan lebih produktif. Jadi kita menciptakan sistem, kurikulum dan kebijakan yang mengupayakan efisiensi hampir seperti sebuah agama. Kami menghilangkan redundansi, kami mengurangi kesenjangan, kami mengatur jadwal dengan tepat. Namun realitas makroekonomi mengatakan sebaliknya: pertumbuhan seringkali terjadi pada masa yang tidak efisien.
Ramadhan, Idul Fitri, Natal, Tahun Baru, liburan sekolah, Thanksgiving di AS, atau Tahun Baru Imlek di Tiongkok selalu diperingati karena alasan ekonomi. Pada saat kondisi kota melambat, ketika semakin banyak toko yang tutup, ketika orang-orang kembali ke kotanya dan pengeluaran menjadi sangat besar dan tidak rasional, perekonomian benar-benar tumbuh.
Indeks belanja meningkat, konsumsi meningkat, permintaan akan pekerja sementara meningkat, mulai dari jasa pengiriman hingga penata rias pengantin. Pasar keuangan juga memasukkan momentum dan hari libur ke dalam proyeksinya. “Kami membangun sistem perekonomian secara keseluruhan untuk efisiensi, namun kami berharap perekonomian akan meningkat kapan pun kalender memberi kami alasan untuk berhenti bekerja dan mulai merayakannya.”
Kita lupa bahwa yang menggerakkan perekonomian bukan hanya bekerja, tapi juga mudik. Bukan hanya produksi, tapi juga perayaan. Bukan hanya perhitungan, tapi juga cinta. Jadi kalau kita ingin memahami dunia kerja masa depan, jangan dihitung berapa banyak pabrik yang berdiri. Hitung juga berapa banyak momen yang dirayakan bersama, karena di sinilah dunia kerja, dunia pelayanan, dan dunia makna dimulai.
Kesimpulan: Dari Pabrik Gelap Menjadi Dunia Terang Saat ini, pabrik paling maju di dunia tidak memerlukan cahaya. Mereka menyebutnya pabrik gelap, dimana produksi berjalan secara otomatis, tanpa manusia, tanpa suara, tanpa kehidupan. Semuanya sempurna, semuanya efisien, tapi juga semuanya senyap. Namun perekonomian tidak bisa hidup dalam kegelapan, apalagi masyarakat.
Karya manusia lahir dari cahaya: dari perayaan, dari interaksi, dari keindahan yang dilihat, diraba dan dirayakan bersama. Gaun pengantin harus dilihat. Rumah besar perlu sibuk. Anak-anak harus tertawa. Sholat hendaknya dilakukan secara berjamaah dalam suasana khusyuk dan terkonsentrasi. Musiknya pasti diputar. Hidup tidak diperdagangkan dalam kegelapan.
Pabrik-pabrik yang gelap membuktikan bahwa produksi dapat dilakukan tanpa cahaya, tanpa manusia. namun perekonomian yang memanusiakan dan kehidupan yang bermakna hanya dapat dicapai dengan cahaya, kehadiran, kehangatan dan rahmat. (miq/miq)
