Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Dewan Redaksi UMBBIZHF NEWS
Presiden Prabowo Subianto, orang nomor dua Asta Cita, bicara soal kemandirian energi. Sebuah cita-cita yang pada dasarnya merupakan upaya menjaga harkat dan martabat bangsa. Pada saat energi menjadi mata uang baru dalam diplomasi global, kemandirian energi bukan lagi soal produksi teknis namun soal pengaruh politik.
Amanat Perjanjian Paris merupakan jangkar moral bagi Indonesia untuk maju, namun bagaimana langkah tersebut diambil akan menentukan posisi Indonesia di antara dua tren besar dunia saat ini, industrialisasi hijau dan perebutan pengaruh ekonomi.
Indonesia menyadari bahwa energi baru dan terbarukan (EBT) tidak hanya merupakan pilihan rasional dalam mitigasi iklim, namun juga merupakan bidang energi lunak yang baru. Melalui energi hijau, suatu negara dapat memperluas pengaruhnya tanpa senjata, tanpa paksaan, namun melalui inspirasi, keunggulan moral, dan politik yang patut diteladani.
Namun di balik narasi ideal tersebut, transisi energi di Indonesia masih terus berlangsung. Mulai dari masalah perbankan hingga ketimpangan pendanaan. Permasalahan yang paling krusial adalah EBT belum dianggap bankable atau layak untuk dibiayai oleh perbankan di Indonesia. Proyek-proyek mereka seringkali gagal meyakinkan lembaga-lembaga keuangan, bukan karena mereka kurang memiliki perspektif, namun karena kerangka politik dan risiko keuangan yang belum terorganisir.
Ketika pasar tidak mempercayainya, narasi kedaulatan energi kehilangan kekuatannya. Padahal, kepercayaan terhadap logika soft power menjadi modal utama, baik di tingkat investor, masyarakat, maupun internasional.
Di tingkat regional, ASEAN sebenarnya telah berupaya membangun kerangka kerja sama energi melalui ASEAN Action Plan for Energy Cooperation (APAEC) yang kini memasuki Fase II hingga tahun 2025. Namun, seperti kebanyakan kebijakan regional, kerangka aksi tersebut masih berhenti pada tataran retorika, seperti pelatihan dan seminar.
Efektivitasnya terhambat oleh permasalahan klasik, perbedaan kepentingan nasional, kebijakan yang tumpang tindih, dan lemahnya pendanaan kolektif. Memang benar, jika ASEAN ingin menjadi relevan di abad energi baru ini, maka ASEAN harus menjadikan kerja sama energi sebagai simbol soft power regional dan bukan sekadar instrumen ekonomi, namun bentuk solidaritas yang memperkuat identitas bersama.
Dalam kasus Indonesia, misalnya, jika peraturan Himpunan Bank-Bank Negara (Himbara) terkena dampaknya, sebagian besar bank swasta di Indonesia adalah bank daerah yang mempunyai penanaman modal asing, seperti CIMB, UOB, DBS dan OCBC.
Dalam konteks ini, geoekonomi muncul sebagai kekuatan baru di Asia Tenggara. Negara-negara bersaing untuk menekankan peran strategis mereka dalam rantai pasokan energi global. Indonesia mempunyai potensi besar melalui penambangan dasar laut, artinya eksplorasi mineral dasar laut yang dibutuhkan untuk baterai dan teknologi ramah lingkungan.
Namun potensi tersebut harus diimbangi dengan etika ekologis. Karena di dunia yang semakin sadar lingkungan, kekuatan sebenarnya bukan terletak pada seberapa banyak sumber daya yang dimiliki, namun pada bagaimana suatu negara mengelolanya secara bertanggung jawab.
Ini adalah bentuk soft power yang paling halus, pengaruh yang lahir dari integritas moral dan koherensi politik. Kemandirian energi yang sesungguhnya tidak muncul dari isolasi. Kebijakan ini lahir dari kemampuan suatu negara untuk menjadi contoh, bukan pengecualian.
Ketika Indonesia misalnya berbicara tentang bioenergi, dunia menaruh perhatian pada apakah kebijakan tersebut benar-benar inklusif, adil, dan berkelanjutan. Sebagai biofuel, bioetanol telah menjadi simbol potensi dan paradoks.
Murah, bersifat lokal dan ramah lingkungan, namun sering kali ditentang karena kekhawatiran mengenai konversi lapisan tanah atas, kerusakan pada mesin pengguna, dan kurangnya kesiapan lokal. Dalam konteks ini, penjangkauan masyarakat bukan sekedar tugas teknokratis, namun merupakan diplomasi internal melalui cara pemerintah membangun kepercayaan masyarakat terhadap masa depan yang lebih hijau. Komunikasi adalah kuncinya.
Sementara itu, ambisi membangun industri baterai nasional sebagai tulang punggung transisi energi juga masih dilematis. Pembuatan baterai menjanjikan kemandirian teknologi, namun jika limbah dan polusi tidak diatasi, maka janji energi bersih akan menjadi sebuah kontradiksi.
Dunia tidak hanya mengapresiasi kemampuan industri kita namun juga koherensi moral kita dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Di sinilah soft diplomacy bekerja, yaitu soft power tidak lahir dari gambaran, melainkan dari keterhubungan antara perkataan dan tindakan berdasarkan niat politik yang jelas.
Pertanyaan besar lainnya adalah mengapa EBT masih mahal? Sebagian karena teknologi impor belum sepenuhnya dikuasai, sebagian lagi karena skala ekonomi yang memadai belum tercapai. Namun di balik biaya-biaya tersebut terdapat narasi potensial yang jarang disinggung: bahwa setiap rupee yang diinvestasikan dalam EBT merupakan investasi demi martabat bangsa.
Ketika Indonesia mampu membangun energi bersih dengan tangannya sendiri, hal ini tidak hanya menghemat anggaran impor, namun juga menanamkan keyakinan baru di mata dunia bahwa kemandirian tidak harus bertentangan dengan keberlanjutan.
Masalah pendanaan merupakan inti dari semua tantangan ini. Ketergantungan pada APBN dan bantuan luar negeri membuat banyak proyek EBT rentan terhadap diplomasi ofensif, mulai dari pembagian pinjaman hingga pengaruh politik yang represif.
Dalam perjanjian ini, ASEAN harus menemukan format baru, seperti mekanisme intrafund, semacam dana regional pengelolaan kolektif untuk mendukung penelitian dan inovasi energi. Jika berhasil, inisiatif ini bisa menjadi model soft power ekonomi ASEAN di dunia, solidaritas nyata, bukan sekedar seremonial.
Indonesia tidak boleh hanya menjadi peserta tapi juga pemimpin. Kepemimpinan Indonesia di bidang energi terbarukan akan memperkuat citra moral ASEAN sebagai kawasan yang mampu memimpin tanpa mendominasi, memimpin tanpa memaksa.
Energi bersih itu bukan hanya alat kelangsungan hidup, tapi juga sarana memperkuat identitas daerah. Soft power Indonesia dalam konteks ini dapat diwujudkan dalam tiga bentuk: politik keteladanan, diplomasi inovasi, dan narasi moral.
Kebijakan yang patut dicontoh dapat dilihat ketika Indonesia mematuhi komitmen EBT meskipun biaya awalnya tinggi. Diplomasi inovasi terjadi ketika Indonesia menginisiasi penelitian bersama dengan ASEAN atau berbagi teknologi sederhana dengan negara anggota lainnya yang benar-benar diterapkan. ASEAN Energy Center di Jakarta adalah bukti nyata.
Namun semua ini hanya akan masuk akal jika transisi energi diterapkan pada tingkat lokal. Kemandirian energi tidak akan lahir dari ruang konferensi, tapi dari desa-desa yang menyediakan listrik sendiri melalui panel surya, dari petani yang memproduksi bioetanol, dari masyarakat yang berani berinovasi tanpa harus menunggu izin dari pembangkit listrik. Dalam skala mikro, soft power yang sebenarnya tumbuh—kekuatan menular yang lahir dari pemberdayaan masyarakat.
ASEAN, dengan segala keterbatasannya, terus menemukan bentuk di era energi baru. Namun, Indonesia berada dalam posisi unik untuk memimpin ke arah ini dan bukan melalui kekuatan, namun melalui pengaruh moral, yang kemampuannya telah terbukti di kawasan Asia Tenggara.
Perjanjian Paris mungkin merupakan titik awal, namun tujuan akhirnya adalah membangun peradaban energi yang mengutamakan keberlanjutan, solidaritas, dan kemandirian. Jika Indonesia mampu mengubah energi menjadi sebuah narasi atau bahasa budaya, bukan sekedar komoditas, maka disitulah soft powernya akan terkristalisasi dan menjadi utuh. (miq/miq)
