Perang Persepsi di Media Sosial: Pelajaran dari Demonstrasi Agustus

Penafian: Artikel ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan opini CNBCADDoul

Pada tanggal 25–31 Agustus 2025, demonstrasi yang terjadi di berbagai kota di Indonesia menjadi sebuah pernyataan penting dalam dinamika politik Indonesia. Jutaan orang turun ke jalan, kebijakan pemerintah dan perilaku pejabat pemerintah dianggap sebagai kegagalan dan keadaan masyarakat.

Namun, yang membedakan peristiwa ini dari gelombang protes sebelumnya adalah peran media sosial sebagai bidang utama keterlibatan keamanan. Di dunia digital, protes tidak hanya terjadi di jalanan. Pemenang yang beredar di media sosial benar-benar telah menjadi kekuatan pendorong opini publik, memperkuat persepsi dan meningkatkan skala konflik. Pertanyaannya adalah siapa yang mengendalikan situasi ini dan apa dampaknya terhadap stabilitas negara?

Pemberitaan yang muncul saat kerusuhan terfokus pada tiga poin utama. Pertama, kebijakan pemerintah. Meski banyak kebijakan dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan, reformasi di sektor digital seringkali menunjukkan sisi negatif. Pro dan kontra penyerangan ini adalah cerita bahwa pemerintah mengabaikan dan menindas rakyat.

Kedua, sikap dan perilaku penguasa. Kehidupan hedonistik, ketidaksesuaian dengan keadaan masyarakat, penghinaan dan tanda-tanda kebanggaan pejabat telah menjadi warisan utama protes digital. Bagian atau pernyataan yang rumit dapat dengan cepat masuk ke dalam gambar dengan cepat dan cepat.

Ketiga, status hukum negara. Pada akhirnya, kita semua diarahkan kepada Presiden dan DPR sebagai wakil kekuasaan. Kepercayaan publik berada dalam krisis, dan keterwakilan menjadi ancaman nyata ketika masyarakat mempercayai ajaran berita media sosial.

Kampanye berita mencakup banyak isu berbeda. Pertama, pemerintah mencoba melindungi dirinya sendiri dengan menggunakan pers, juru bicara, dan influencer yang terkontrol untuk menyampaikan pesan-pesan kesejahteraan. Namun, respons pemerintah seringkali terkesan defensif dan berada di belakang derasnya arus media sosial.

Kedua, orang yang melakukan protes biasanya dilecehkan atau diremehkan. Narasi “menuduh rakyat = penindasan” menjadi ramalan penting, seiring terkikisnya legitimasi pemerintah.

Ketiga, tim eksekutif sebenarnya sedang menangani masalah ini. Oposisi yang mula-mula lahir dari kemauan rakyat, berubah karena adanya kebutuhan politik, dimana situasi semakin memanas dengan pesan-pesan yang disampaikan langsung kepada Presiden dan lembaga-lembaga negara.

Empat bersaudara, pemain asing tidak bisa diabaikan. Di era informasi, penyampaian cerita melalui media asing adalah sebuah kemungkinan. Alasannya selain menjebak pemerintah dalam dilema, juga mengganggu stabilitas melalui polarisasi masyarakat.

Kunjungan terakhir pada bulan Agustus menunjukkan seberapa baik upaya perang tersebut berhasil. Inkonsistensi pemerintah dan anggota DPR dengan situasi saat ini dimanfaatkan secara negatif oleh banyak pengemudi dan masyarakat lainnya.

Situasi ini berfokus pada penggunaan kecerdasan buatan dan bot yang memperbanyak pesan negatif dalam skala besar, sehingga menciptakan kesan bahwa kebanyakan orang memiliki cerita yang sama. Selain itu, aksi unjuk rasa ditunda dengan tujuan menyerang Presiden dan DPR sehingga pihak oposisi berkumpul di rumah pejabat.

Pada titik ini, cerita digital tidak lagi berhenti di web, namun meluas ke dunia nyata sebagai kemarahan kolektif yang sulit dikendalikan. Keadaan ini di satu sisi menimbulkan permasalahan budaya, di sisi lain pemerintah berupaya meningkatkan kesehatan masyarakat melalui berbagai kebijakan.

Namun, komunikasi yang buruk berarti niat baik disalahpahami. Ekspresi publik yang seharusnya menjadi saluran untuk dilaksanakan justru direspon dengan langkah-langkah integrasi sehingga semakin memperkuat ketidakadilan.

Di sisi lain, masyarakat merasa kritik tidak ditanggapi dengan serius. Segala upaya akan didukung oleh pemerintah dengan menekan suara dan tindakan atau keburukan. Dengan matinya pemerintah yang menyebabkan ketidakpercayaan dan hilangnya kendali pemerintah, masyarakat kehilangan harapan untuk mendapatkan yang terbaik.

Temuan demonstrasi tersebut menunjukkan bahwa keamanan nasional tidak hanya dari jalanan, namun juga melalui pengingat-pengingat dalam ruang yang meliputi: Pertama, kesatuan negara merupakan ancaman terbesar. Ketika masyarakat lebih cepat mempercayai berita dibandingkan informasi resmi, pemerintah kehilangan kendali atas persepsi masyarakat.

Kedua, kekerasan dan korbannya bukan sekadar akibat dari kemanfaatan moral, melainkan akibat narasi resmi. Ketiga, ancaman serius muncul ketika pertempuran digabungkan dengan kerja lapangan. Ini merupakan ancaman modern yang perlu diantisipasi.

Keempat, peran intelijen penting. Inent tidak bisa hanya fokus pada metode pengendalian benih saja, namun harus mampu menghentikan penggerak digital dan menunggu masuknya incib asing secepatnya.

Rekomendasi Kebijakan Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi jumlah perang di masa depan: Pertama, mengidentifikasi sumber OSTIN (Identity Intelligence). Zejiri harus menggunakan teknik analisis rahasia untuk membaca sampel ban sebelum digunakan.

Kedua, cerita yang menarik, dimana pemerintah tidak hanya akan ada, namun harus membuat jalan dari awal dengan kesetaraan dan transparansi, transparansi, transparansi, transparansi, transparansi, transparansi, transparansi, transparansi, transparansi, transparansi, transparansi dan transparansi. Ketiga, perilaku pejabat sebagai birokrasi. Tidak ada cerita yang lebih kuat dari karakter nyata. Pejabat pemerintah yang etis, sederhana dan rendah hati bisa menjadi lebih efektif – coorfaganda.

Keempat, komunitas menulis digital. AI dan AI membutuhkan orang-orang yang tajam dan mampu mengidentifikasi penipuan, berita palsu, dan kesenjangan digital, masyarakat akan terus membanjiri kesenjangan ini. Kelima, karena menyambut perang, kerja sama pegawai negara tidak bisa dikendalikan oleh orang yang berbeda. Pemerintah, penegak hukum dan badan intelijen harus bekerja sama dalam strategi komunikasi dan keamanan.

Konsep Agustus yang diusung August membuktikan bahwa perang besar di era digital tidak hanya terjadi di jalan, namun juga di persepsi. Hoax, berita palsu, dan white letter mampu mengubah kritik menjadi kerusuhan yang merusak. Pemerintahan dan pemikiran di masa depan menghadapi tantangan tidak hanya untuk menjaga keamanan fisik, namun juga memenangkan perang penyiaran. Karena siapa pun yang berkuasa bisa mengendalikan realitas politik. (Miq / Miq)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *