Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan dewan redaksi CNBCIndoneiesia.com.
Inflasi terus meningkat, kondisi pasar perdagangan bermasalah dengan penutupan pabrik di berbagai daerah, demikian Laporan Hasil Ekonomi dan Bisnis (UI) yang diterbitkan tahun lalu.
Survei ini memberikan gambaran suram terhadap perekonomian Indonesia. Memang benar, kesulitan masih terus menghantui Indonesia dan diperkirakan akan terus berlanjut dalam beberapa waktu ke depan. Jika tidak diatasi dengan cepat, Indonesia akan menghadapi kontraksi atau penurunan perekonomian yang lebih parah. Meski begitu, LPEM mengetahui bahwa sektor ritel, otomotif dan properti, perbankan dan pemberi pinjaman, serta pengindeks menghadapi kesulitan. Penelitian LPEM menarik karena mengkaji pandangan para ahli baik akademisi, peneliti, profesional dan lain-lain mengenai kondisi perekonomian saat ini. Hasil ini sangat meresahkan, mengingat 55 persen responden yang mewakili 42 ekonom menilai situasi perekonomian saat ini lebih buruk dibandingkan beberapa waktu lalu. 7 Dia berpikir bahwa situasinya sangat buruk. Sementara itu, 11 negara lainnya melihat perekonomian menghadapi stagnasi. Hasil survei LPEM Februari UI membenarkan sentimen masyarakat bahwa perekonomian belum membaik. Di berbagai platform media sosial (media), warganet pun mengeluhkan hal tersebut. Seringkali pengguna media sosial mengomentari berita liburan yang terus berlanjut dari waktu ke waktu.
Beban pengangguran mungkin disebabkan oleh masalah masyarakat, dimana banyak pekerja merasa kesulitan untuk menghidupi keluarga dan diri mereka sendiri meskipun bekerja. Namun keluh kesahnya tidak hanya sebatas meninggalkan masalah pengangguran saja, namun masih banyak lagi permasalahan lainnya yang dibicarakan netizen. Masyarakat tanah air pada umumnya menghadapi permasalahan perekonomian yang besar dalam berbagai aspek. Misalnya saja masalah inflasi yang diperkirakan akan diperburuk dengan meningkatnya pengangguran. Terbaru, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan IHK Juni 2025 mencatat inflasi sebesar 0,19% (MTM), sehingga secara tahunan IHK mengalami inflasi sebesar 1,87%. Pada Mei 2025, proyeksinya sebesar -0,37%.
Jatuhnya atau turunnya harga barang dan jasa secara umum merupakan bagian dari turunnya daya beli masyarakat. Hal ini tidak mengherankan mengingat adanya inflasi dan tebusan (PHK) di berbagai daerah yang sedang tutup.
Berdasarkan data Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI), terdapat 45.000 pekerja yang dipekerjakan di 38 perusahaan. Banyak pekerja yang diputus kontraknya karena perusahaan tempat mereka bekerja bangkrut. Banyak lagi karena pabrik tempat mereka bekerja direlokasi ke negara lain, seperti PT Indonesia yang merelokasi 900 karyawannya ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Atap terbesar dialami karyawan Patriotex di Skoharjo, Jawa Tengah (Jateng) sebanyak 10.665 orang. Setiap kepergiannya merupakan sebuah tragedi tersendiri, namun hal ini juga melemahkan daya beli masyarakat selama masa ekonomi sulit. Pemerintah menyikapi situasi ini dengan mengeluarkan berbagai kebijakan fiskal dan membahas pembentukan lembaga-lembaga baru untuk mengatasi kesulitan perekonomian. Disampaikan Menteri Keuangan (Mankyu), Sri Molitani Andrawati, pemerintah mengeluarkan Rp57,4 triliun terutama untuk stimulus kuartal I. Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan (Mankekar), Yasirli mengungkapkan Paringka akan mendirikan Lembaga Produktivitas Nasional yang bertugas meningkatkan produktivitas sektor swasta dan publik. Sebelumnya, Perquito sendiri telah mengumumkan bahwa ia akan membentuk Dewan Kesejahteraan Perburuhan Nasional sebagai badan penasehat dalam upaya menyusun peraturan yang berpihak pada pekerja. Namun, masyarakat belum melihat titik terang di ujung terowongan permasalahan ekonomi. Asosiasi Pemilik Seluruh Indonesia (Apendo) masih menyoroti banyaknya atap serta lemahnya daya beli masyarakat.
Menurut asosiasi, hal ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,87 persen pada kuartal I-2025. Padahal, Indonesia berhasil mencetak angka 5,11% pada kuartal I tahun lalu. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas pemerintah dalam menangani pertumbuhan ekonomi dalam beberapa waktu terakhir. Tanpa berusaha membunyikan terlalu banyak peringatan, Indonesia belum mengalami depresi. Namun dalam menghadapi Great Depression di awal abad ke-20, Indonesia bisa memetik banyak hikmah dari Amerika Serikat (AS). Untuk mengatasi penyakit ekonomi ini, pemerintah AS yang dipimpin oleh Presiden Franklin Delano Roosevelt (FDR) memberlakukan Undang-Undang Korupsi Sipil (PPUCA), dan Pemerintahan Sewell. Michael Lund (2012) Dalam The Promised Land: An Economic History of the United States menjelaskan pentingnya lembaga-lembaga tersebut bagi Amerika dalam menghadapi krisis ekonomi. Misalnya, CCC telah merekrut warga Amerika yang menganggur untuk bekerja dalam upaya pelestarian lingkungan seperti penggundulan hutan di negara tersebut. Setelah itu, WPA memanfaatkan para pengangguran dalam proyek infrastruktur mulai dari pembangunan jalan, jembatan, dan proyek lainnya. Eric Rauchway (2008) menjelaskan bahwa Roosevelt ingin merekrut sebanyak mungkin pengangguran melalui WPA untuk ditugaskan pada proyek publik. Faktanya, WPA juga mempekerjakan seniman, penulis, dan aktor yang bekerja. Saat ini banyak terdapat karya seni seperti mural di gedung-gedung publik yang dirancang oleh WPA.
Dengan demikian, pentingnya institusi yang dikembangkan oleh Roosevelt ditempatkan pada fungsinya untuk memaksimalkan perekrutan dan penggunaan dalam proyek-proyek publik. Hal ini juga meningkatkan daya beli pekerja yang menerima upah setelah keluar dari pengangguran dan kembali bekerja. Seperti yang terlihat dalam ‘New Deal’ Roosevelt, ketika dihadapkan pada Depresi Besar di Amerika, pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Pragka akan aktif dalam menangani berbagai permasalahan perekonomian. Penguatan institusi pemerintah serta mengucurkan stimulus merupakan langkah awal yang baik dalam mengatasi permasalahan perekonomian Indonesia.
Juga kinerja anggaran yang membuat semua pihak memutar ikat pinggang. Oleh karena itu, pemerintah harus memiliki ruang fiskal yang lebih luas untuk melibatkan diri dalam kegiatan perekonomian negara. Dalam situasi seperti ini, pemerintah harus memastikan bahwa intervensi fiskal memberikan dampak yang tepat dan mengembalikan roda perekonomian. Pemerintah sebaiknya fokus pada program penciptaan lapangan kerja dan upaya lain yang dapat meningkatkan daya beli masyarakat dan konsumsi domestik sebagai langkah awal untuk menghidupkan kembali perekonomian. Saat ini, ada banyak hal yang bisa dilakukan pemerintah dalam waktu dekat. Selama ini pemerintah telah melaksanakan berbagai program seperti makanan bergizi gratis (MBG), prinsip desa merah putih, bahkan Program Rakyat.
Kebijakan-kebijakan tersebut berpotensi menjadi sektor penciptaan lapangan kerja baru. Fokus pemerintah pada penyediaan barang dan/atau jasa publik, salah satu contoh program MBG adalah pangan, sangat penting untuk mencapai tujuan ini. Saat ini, masyarakat menunggu tangan panjang pemerintah untuk merogoh koceknya untuk mengarahkan kekayaannya lebih jauh ke hilir, bahkan melalui program yang dijalankan oleh sektor publik.
Melalui kebijakan-kebijakan tersebut, seperti MBG, desa merah putih yang berprinsip, dan sekolah desa yang dipandu oleh Dewan Kesejahteraan Pekerja dan Badan Kekayaan Produktif Nasional, kekayaan kekayaan produktif dapat ditransfer ke masyarakat. Dengan demikian, daya beli masyarakat akan kembali menguat dan perekonomian nasional akan kembali bangkit setelah sempat mengalami perlambatan yang menyesakkan belakangan ini. (MIQ/MIQ)
