Waste to Energy Harus Fokus Kurangi Penumpukan Sampah

Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan tim redaksi UMBBIZHF NEWS.

Tujuan utama dari sampah menjadi energi (WTE) seharusnya sederhana: mengurangi akumulasi sampah di perkotaan. Teknologi hanyalah sebuah alat. Baik itu bahan bakar turunan sampah (RDF), gasifikasi, maupun insinerator, semua upaya tersebut tidak akan berhasil jika sampah berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Sayangnya, banyak proyek WTE yang lebih berfokus pada efisiensi mesin dan kelistrikan dibandingkan penyelesaian masalah utama: bagaimana memastikan sampah tidak lagi memenuhi ruang hidup kita. RDF mengubah sebagian limbah menjadi bahan bakar padat, namun masih tetap ada. Gasifikasi juga dapat mengolah sampah yang tercampur, namun pada akhirnya menyisakan lebih banyak TPA. Artinya teknologi tidak otomatis terakumulasi. Perilaku masyarakat dan metode penyortiran sumber sangat penting. Tanpa adanya pemilahan, permasalahan yang timbul akan menjadi lebih buruk, bukan teratasi. Contoh nyatanya datang dari Leuven, Belgia. Kota ini mampu mengurangi volume sampah dengan cepat karena warganya terpaksa memilah sampah rumah tangga: organik, plastik, kertas, logam, dan sampah. Teknologi WTE apa pun sangat efisien karena kualitas bahan bakunya jelas. Bagaimana cara kerja sistem Levine? Pertama, tersedia kantong plastik resmi dengan warna tertentu untuk setiap jenis sampah, lengkap dengan hologram untuk mencegah cukai dan pemalsuan. Kedua, warga membayar bila Anda membuang komputernya. Artinya, biaya pembuangan yang dikeluarkan tergantung pada jumlah sampah. Semakin tidak terstruktur residunya, semakin mahal harganya. Di sisi lain, penyortiran yang tepat menghasilkan biaya yang lebih rendah. Ketiga, ada pengawasan ketat: jika sampah salah dipilah, sampah tidak akan dikumpulkan dan bisa dikenakan sanksi. Terakhir, jadwal pengangkutan rutin setiap jenis kantong berbeda-beda, sehingga sampah tidak lagi tercampur di dalam truk. Hasilnya meyakinkan: tingkat daur ulang mencapai lebih dari 70 persen, tertinggi di Eropa, dan tempat pembuangan sampah tidak lagi digunakan untuk sampah rumah tangga. Uniknya, Leven Landed juga membedakan pendekatannya terhadap rumah dan apartemen. Di rumah lumpur, tanggung jawab tersendiri diberlakukan: jika sampah salah dipilah, sampah akan ditumpuk di depan rumah. Sementara di apartemen, tanggung jawabnya bersifat tanggung renteng. Sampah dikumpulkan di ruang bersama. Jika ada penduduk yang membuangnya secara tidak benar, pihak berwenang dapat menolak untuk mengambil seluruh wadah tersebut. Pengelola mendapat peringatan, dan seluruh penghuni dikenakan biaya tambahan. Penghuni saling menjaga satu sama lain karena satu individu yang ceroboh dapat merusak seluruh blok.

Indonesia harus mengikutinya. Jika WTE benar-benar ingin menjadi solusi, fokusnya harus beralih dari mesin ke sistem penyortiran di rumah. Untuk tempat tinggal di darat, berlaku batasan pendidikan dan pribadi. Untuk apartemen, wajar jika ada kontrol kolektif agar semua penghuninya tetap disiplin. Dengan model seperti ini, beban TPA akan berkurang secara signifikan, kualitas RDF atau bahan bakar gas akan meningkat, dan energi dari limbah proyek akan benar-benar efisien. Teknologi mungkin berbeda-beda, namun kunci suksesnya terletak pada perubahan perilaku masyarakat. (MIQ/MIQ)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *