African Gas Renaissance dan Peluang Strategis Indonesia

Catatan: Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Dewan Redaksi UMBBIZHF NEWS

Gelombang baru produksi gas alam cair (LNG) di pantai timur dan selatan Afrika, khususnya di Mozambik, Tanzania dan Namibia, mengubah peta energi dunia. Di tengah dominasi Amerika Serikat dan Timur Tengah, ketiga negara Afrika ini menawarkan alternatif pasokan yang diperkirakan mencapai hampir 20 juta ton per tahun pada tahun 2030.

Dalam konteks meningkatnya ketergantungan terhadap energi bersih dan risiko geopolitik di kawasan Teluk, jalur pasokan trans-khatulistiwa melalui Samudera Hindia semakin strategis bagi negara-negara Asia, termasuk Indonesia.

Mozambik menjadi pusat Renaisans ini. Setelah tertunda karena masalah keamanan, proyek LNG senilai $20 miliar di Mozambik, yang dioperasikan oleh totalenergies, dijadwalkan untuk kembali beroperasi pada pertengahan tahun 2025. Proyek ini akan menghasilkan 13,1 juta ton LNG per tahun dari dua lini produksi, menjadikannya salah satu produsen LNG terbesar di dunia.

Di sisi lain, instalasi Coral South Floating yang dioperasikan ENI telah mengirimkan kargo ke-100 pada April 2025. Hal ini menjadi bukti bahwa Afrika bukan lagi prospek, melainkan pemain aktif dalam perdagangan gas global.

Tanzania terus melanjutkan dinamika positif. Setelah puluhan tahun melakukan negosiasi, pemerintah dan konsorsium equinor-shell akhirnya menandatangani perjanjian dengan pemerintah tuan rumah pada tahun 2024 untuk membuka jalan bagi keputusan investasi akhir pada proyek LNG Lindi. Proyek senilai $30-42 miliar ini menawarkan peluang luar biasa berkat stabilitas politik di bawah kepemimpinan Samia Suluhu Hassan dan kerangka fiskal yang lebih jelas.

Sementara itu, Namibia menjadi “kuda hitam” melalui penemuan besar Mopane dan Venus di cekungan oranye. Meskipun tidak memiliki infrastruktur LNG, Namibia mengandalkan reputasi stabilitas makro, tata kelola yang baik di Afrika sub-Sahara, dan komitmen kuat terhadap teknologi modular dan hilir LNG. Kombinasi inilah yang menarik minat investor global.

Lalu apa dampaknya bagi Indonesia? Mulai tahun 2022, Indonesia akan berubah status dari eksportir menjadi net importir LNG, akibat menurunnya produksi dari Mahakam dan Tangguh. Dengan kondisi tersebut, trio Afrika menawarkan lima manfaat beton.

Pertama, diversifikasi penawaran. Kontrak jangka menengah Coral South atau Tanzania memungkinkan Indonesia mengurangi ketergantungannya pada kargo dari pedagang Teluk atau Singapura sekaligus mengurangi risiko logistik di Selat Hormuz dan Terusan Panama.

Kedua, efisiensi biaya transportasi. Jarak laut dari Pemba atau Maputo ke Sumatera hanya setengah dari jalur LNG Amerika ke Jawa Timur. Dengan tarif sewa kapal LNG trifuel sebesar 174 ribu meter kubik, penghematan bisa mencapai 0,5 dollar AS per MMBTU, kondisi ini menunjukkan nilai yang signifikan di tengah fluktuasi harga kawasan global.

Ketiga, kesesuaian profil cuaca. Pengiriman LNG Belahan Bumi Selatan umumnya mencapai puncaknya pada awal tahun, yang bertepatan dengan musim kemarau di Indonesia ketika pasokan pembangkit listrik tenaga air langka. Standar ini ideal untuk mendukung permintaan PLN akan manajemen puncak pembangkit listrik.

Keempat, kerja sama maritim dan industri hilir. Posisi strategis Mozambik dan Tanzania di Samudera Hindia membuka peluang kerja sama antar perusahaan pelayaran nasional, seperti Pertamina International Shipping, dan Modular LNG Developer. Memang benar bahwa keahlian Indonesia di bidang metanol, DME dan pupuk dapat diekspor sebagai jasa teknis ke Namibia.

Kelima, Perlindungan Harga. LNG terapung memungkinkan Anda memperdagangkan formula harga berdasarkan indeks JKM dengan diskon jarak jauh, yang memberikan fleksibilitas dibandingkan indeks berdasarkan minyak Timur Tengah yang cenderung lebih ketat.

Langkah konkrit yang dapat dilakukan antara lain dengan penandatanganan perjanjian tidak mengikat dengan Coral South untuk Cargo Space 2026-2030, serta investasi minoritas melalui Otoritas Investasi Indonesia pada lini ketiga Proyek Mozambik atau modul LNG Namibia.

Diplomasi Energi Selatan-Selatan juga perlu diperkuat melalui koridor LNG Samudera Hindia, yang dapat menjadi forum bagi negara-negara ekuator untuk menyepakati standar transportasi laut, skema pembiayaan rendah karbon, dan protokol keamanan energi.

Sayangnya, potensi ini hanya bisa diwujudkan jika pemerintah dan perusahaan milik negara berani melihat bahan bakar Afrika sebagai peluang, bukan pesaing. Belajar dari keberhasilan Reformasi Proyek LNG Global, Indonesia juga perlu memperkuat dasar hukumnya.

Saat ini ketentuan terkait kerja sama energi lintas negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi dan diperkuat dengan Undang-Undang Nomor. Namun untuk menyikapi dinamika baru tersebut, perlu dilakukan kajian atau penyusunan peraturan presiden atau peraturan menteri ESDM yang lebih sensitif terhadap peluang geopolitik LNG.

Bahan bakar Afrika bukanlah ancaman terhadap transisi energi, namun merupakan batu loncatan yang realistis menuju sistem ketenagalistrikan rendah karbon di Asia Tenggara. Memanfaatkan peluang ini berarti memperkuat ketahanan energi nasional, mengurangi biaya energi, dan memperluas diplomasi energi lintas samudera.

Jika pemerintah, badan usaha milik negara, dan pelaku usaha dapat menghadapi momen ini dengan kebijakan yang tepat dan tindakan nyata, Indonesia akan berada pada jalur yang tepat untuk memperoleh keuntungan strategis dari kebangkitan LNG Afrika sebelum akhir dekade ini. (miq/miq)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *